SAKINAH MAWADAH WAA RAHMAH, NENG.

Dulu kita sering berantem. Merasa ingin diperhatikan adalah alasan kita sering beradu perhatian.

Ada Kakek dan Nenek yang selalu bermurah hati menjadi orangtua kedua. Tidak heran jika kau memanggil nenekmu: Ibu. Ketika aku juga memanggil dengan sebutan yang sama, sebelumnya.

Aku dulu sering marah, ketika kau melakukan hal yang salah, di mataku. Membuatmu menangis mungkin menjadi hobi kakakmu di setiap hari.

Hingga pada suatu waktu yang panjang memberikan aku pelajaran. Memberiku kesempatan untuk membahagiakanmu.

Mendengar banyak saudara dan kawan selalu bercerita tentang adiknya. Cerita tentang keseruan, kejahilan, kekompakan, yang sarat kasih sayang pada setiap lembar kisah yang terbuat. Dan itu yang membuatku iri. Iri untuk ingin membuatmu bahagia, suatu waktu.

Tetapi nyatanya takdir Allah-lah yang lebih baik dari rencana manusia. Di masa dirimu beranjak dewasa, di saat kamu membutuhkan panutan untuk dicontoh baiknya, ketika dirimu butuh dilindungi dan disayangi, ada yang hadir lebih awal sebelum aku menunaikan kewajiban sebagai kakak yang ingin membayar salah di masa dulu.

Lelaki yang telah memegang telapak tangan Papa dengan erat, meyakinkan Papa untuk setia menjaga dan membahagiakan anak perempuan yang paling disayangi lahir batinnya.

Lelaki ini yang telah mengucap janji suci di hadapan semua keluarga dan saudara kita. Hingga saking semangat, ucapan itu perlu diulang kedua kalinya.

Di sisi lain, aku tidak menghiraukan pengulangan itu. Sebab pikiranku sudah melembab basah di hati, membuat mata sembab untuk berkali-kali.

Merelakan adalah satu-satunya cara bagi seorang kakak untuk bisa membahagiakan adik di depan pelaminannya, atau setidaknya bisa melihatmu bahagia di hari pernikahanmu, itu sudah lebih dari cukup.

"Maafin Aa, belum bisa jadi kakak yang baik buat kamu, Neng."


(Pernikahan Adik, 30 Agustus 2019)

Komentar

Postingan Populer