Coretan #2: Kontemplasi Seekor Kucing
Pertanyaan pertama: "Kenapa kucing terlihat begitu manja?"
Bukan dalam arti sebenarnya, melainkan tidak jarang selalu menggangguku setiap Aku mau turu (dalam bahasa persatuan: tidur)
Aku dan Ibu Indekos (dalam bahasa rumahku: mamah), untuk sekarang mempunyai rutinitas baru: Membangun peternakan kucing; atau asrama; atau panti; atau penitipan; atau apapun sebutan untuk Perkumpulan Para Kucing RT 04 / RW 02 Limo, Depok.
Di antara perkumpulan kucing tersebut, salah satu yang menggangguku pada malam ini adalah dia, Anak Kedua dari Mama Pesek, yang merupakan sepupu dari si Dongky, atau keponakannya si Paman Bubu (ah, Bubu. Akhir-akhir ini dia jarang terlihat). Lanjut, yang perlu kalian ketahui adalah sampai sekarang kami (Aku, Mamah, Adekku) tidak tahu siapa sosok Ayah di antara nama-nama yang kusebutkan barusan, kecuali Ibu dari segala Ibu Kucing di rumah ini: Timothy.
Pertanyaan kedua: "Kenapa Aku jadi malah membahas kucing, yang sedari tadi mengikutiku ke mana-mana?"
Karena hal semacam itu sama seperti kamu, yang terukir dalam tulisanku yang lalu. Ada unsur kesamaan jika kalian, para pembaca, memahaminya. Begini, secara sadar Aku merasa diikuti oleh anak kucing itu; di ketidaksadarku, aku merasa diikuti oleh sebuah ingatan, apakah itu? Iya, lagi-lagi tentangmu.
Pertanyaan selanjutnya yang kerap kali muncul: "Kamu itu terbuat dari apa?"
Yang membuatku semakin tidak absen untuk tidak memikirkanmu. Dan tiba-tiba Aku malah menjadi membencimu, bagaimana bisa. Entahlah. Bisa disebut sebagai berita baik atau buruk itu tidak terlalu penting, namun, membencimu bukan perkara yang mudah. Sebab Aku mesti mencari berbagai cara untuk berbohong pada kenyataan yang pahit, bahwa kamu itu sebenarnya baik.
Kembali pada janji di tulisanku yang kemarin: Mengapa Aku membencinya, si Pengagum Hujan? Akan kucoba tuturkan.
"Kenapa kamu menyalahkan Hujan?"
"Aku tidak menyalahkannya, Aku hanya membencinya. Apakah itu salah? Apakah rasa benci patut disalahkan?"
"Kamu salah besar telah membencinya."
"Memangnya, apa yang salah dengan membenci Hujan?"
"Begini. Kalau bagimu hujan itu aneh, kenapa patut dibenci? Kalau katamu hujan itu anugerah, kenapa mesti melulu salah?"
"Aku tidak mengerti ucapanmu barusan."
"Mengertilah, sebenarnya kamu hanya salah mengartikan tanda di dirimu kepada Hujan. Kamu hanya mengkhawatirkannya."
Lagi dan lagi, Aku kembali berkontemplasi bersama diriku yang lain. Yang mampu menjadi sahabat bagi kesendirian, yang bisa berbagi kesendirian kepada seorang sahabat.
"Lalu, bagaimana jika memang benar Aku mengkhawatirkannya?"
Sebenarnya perasaan benci tidak selalu salah. Hujan juga tidak akan menangis, bila mana manusia mengerti maksud Tuhan mengembalikan mentari. Seperti halnya Hujan tidak melulu tentang kesenduan seseorang, kehadirannya bisa saja mengartikan kebahagiaan. Dan tarian si Pengagum Hujan lah yang mampu menjawabnya.
Namun, kamu ini begitu membuatku kesal dengan tingkah-lakumu beberapa hari lalu. Keanehan yang kamu perbuat, membuatku bertanya-tanya,
"Apa yang Puan tengah lakukan? Sedang hari masih kembali bergulir sedari pekan ke pekan."
Ah, kamu itu begitu mudahnya menghiraukan maksud pertanyaanku. Ibarat, semudah kamu membuat ramuan kata dari sari-sari aksara, yang syairnya adalah karsa nan berkhasiat. Tidak sedikit di antara yang meminumnya barang seteguk langsung terlihat sehat. Tanpa kamu tahu siapa gerangan orang-orang yang mengantri berhari-hari hanya dapat sebuah perhatian.
Namun, ketahuilah. Aku ada di antara mereka yang terlihat sakit, dan bersisian dengan mereka yang menunggu jawab.
Komentar
Posting Komentar