Coretan #3: (dituliskan kepada Ahasa) Aku Pamit, dan Terima Kasih Sudah Datang


Di malam itu sama dengan malam biasanya. Gugur daunnya, begitu dengan rantingnya. Angin mendesir, begitu dengan senyapnya. Dan Ahasa dengan akalnya yang tinggal separo, merasa kuat dalam bayang-bayang gelap.

Kopi yang biasa menemaninya hanya tinggal ampas. Sepertinya ia tidak menemukan Kang kopi berkeliaran di sini, pada bait-bait jalan yang benar, mengkhianati malam yang kian lama kian temaram. Gulitanya seperti merindukan bulan, mereka merekam kejadian yang dilakukan gerobolan serigala intelektual saat lagi duduk-duduk riang, bermain kartu dan gitar, rangkul kiri-kanan, kemudian asap-asapnya berkumpul, mengelilinginya, melihat antariksa di atas kepala.

"Maafkan aku, yang kalap denganmu. Membohongi rasa yang dipadamkan kepada musim kemarau. Aku menyukaimu. Hari ini dan untuk kemarin."

Lalu kebodohannya merayap merdu di pucuk ubun-ubunnya. Ia memikirkannya. Hamidah. Wanita terkutuk, yang mengutuk hatinya jadi anak kumbang, yang tiap kali ada manis di bunga, ia melayang-layang. Membuat jemari manjanya menulis, seperti terhubung dengan semesta. Ia rindu Hamidah. Pada seringnya mereka berbahasa, bertutur, dan bertegur sapa.

Itulah yang dirasakan seorang mahasiswa hampir tua. Pada setiap perjalanan yang diberikan Tuhan, ia membenarkan. Bahwa langkah yang dijalaninya, ada beberapa jengkal di hadapannya, berdiri Hamidah. Dengan raut wajah seperti peluru, yang siap menghujam tanpa ampun di separuh jantung. Ahasa terkena parasnya. Degup kencang, itu yang ia rasakan tiap kali seliweran.

"Sudahlah, aku akhiri saja semua ini. Seperti ilalang  yang bergoyang menghalangi pandangan."

Ahasa segan mengakuinya, tapi itulah yang dari tadi dirasakan. Mondar-mandir dalam keadaan waras, namun hati seperti orang yang sedang kalap di pertempuran meja bundar. Berfoya-foya dengan minuman memabukkan, lalu dibiarkan botolnya mengenai kawan sendiri. Makan kawan. Dibiarkan berdarah dalam perasaan merah membiru. Pada perasaan yang lain, ia menikmatinya. Tersenyum sayu di padang yang indah. Berlarian dengan wajah sumringah, tersimpul di hatinya yang lugu bak Pangeran yang baru kena sumpah-serapah, yang berjanji akan merawat perasaan Hamidah.

Ahasa berpikiran untuk menulis semuanya. Namun tulisan itu sengaja ia belum selesaikan. Malah mencoba, lebih tepatnya coba-coba, untuk meluruskan apa yang sebenarnya sudah tak ada kelok yang menikung tajam. Padahal
sebelumnya ia mau menceritakan semua dalam suratnya, tapi ia selalu begitu, selalu lugu di-ke-bingungannya. Hanya saja Ahasa tahu apa yang dilakukan itu cukup baik buat mahasiswa yang sedang dilanda gempa asmara.

"Aku, yang dulu bertemu denganmu dan berfoto bergantian pada gawai yang sama, yang tidak sadar ternyata nomor aktif mahasiswa kita hanya beda satu angka, yang malah ternyata kita lebih mudah untuk bertemu, aku ingin menyudahi ini, perasaan bodohku." ia jujur dalam tulisannya.

Di samping itu, Ahasa sudah berjanji pada seseorang di seberang sana. Berjanji akan membawa nama dan impiannya, bersama masa lalu serta masa depannya, yang 'kan siap bersedia menjadi ayah bagi anak-anaknya.

Untuk Hamidah, tak ada penyesalan yang ia bawa, ia begitu mensyukurinya. Bertemu dengan wanita yang tidak mungkin bisa ia bawa sampai tua. Karena takdir punya kehendak lain, ia pun melanjutkan tulisannya ke tepian.

"Denganku menulis ini, menyudahi perasaanku yang berlarut tak menemui hulu. Karena jika tak dikatakan, aku takut akan kepikiran entah sampai kapan. Apa mungkin nanti, sampai kau akan dilamar lelakimu, menjadi Tuan Putri buat Pangeranmu, menjadi Ibu buat anak-anakmu, dan nenek buat kedua-belas cucumu, aku tak tahu."

Ahasa menutup suratnya dengan pasti. Dan memastikan hatinya sudah tidak ada Hamidah. Walau semesta tahu, siapa yang pantas bagi hati untuk berlabuh dan sebentar singgah.

Komentar

Postingan Populer