Teko Hangat dan Berlembar Rindu
Ketika sebuah lirik lagu dari Banda Neira mencoba meyakinkan ku, "Yang patah tumbuh, yang hilang berganti, yang hancur lebur akan terobati. Yang sia-sia akan jadi makna, yang terus berulang suatu saat henti". Kira kira begitu bunyinya. Meski suara ku tidak begitu merdu, namun ada makna dibalik lirik itu.
Kemudian aku menepi pada batas sadar ku di dunia fana, dimana sebuah realita mencoba menghukum para lakon sandiwara, menjadikannya tak berdaya dan hampa. Memang begitulah hidup. Begitu seimbang. Malam hadir menggantikan siang, putih akan menghitam, yang dibangun akan dibongkar, dan yang dipertahankan akan menghilang.
Sama seperti tempat dimana aku bersama kawan-kawan menghabiskan banyak waktu untuk berbelok sedikit, tidak untuk pulang, namun untuk bersandar. Tidak juga. Hanya untuk bertegur sapa kepadanya orang sana. Selebihnya kuserahkan kepada kalian yang juga punya cerita ini.
Dari sudut pandang ku melihat, kita punya minat. Dari sudut pandang ku merasa, kita punya asa. Dari sudut pandang ku berpikir. Kita tau apa yang harus kita lakukan. Tapi, mulai dari mana.
Banyak cara yang ada dipikiran kita. Namun susah jika disajikan dalam wujud karya. Satu tahun membangun, membentuk pondasi yang agung, dan mencari rekan se-profesi untuk menjadi penerus nanti. Dua tahun berjalan, banyak hal-hal yang menyenangkan, bercerita-ngumpul-makan besar, seperti itu definisi kebahagiaan.
Memasuki tahun ketiga, mencoba melebarkan sayapnya. Namun ada kendala pada sistem pengemudinya. Tidak begitu buruk juga yang dialami para armada. Akhirnya penerus keempat lah mencoba mengambil alih. Mencoba memperbaiki, walau kadang terbentur waktu-waktu-waktu, tapi masih ada serdadu-serdadu yang naik pangkat ditahun kelima. Tahun untuk membayar sisa sisa nafas tahun keempat dan ketiga. Harapan besar namun tak disertai penjagaan oleh kami. Orang sebelumnya. Dan hal ini juga berpengaruh di tahun keenam. Dimana banyak bala gagasan namun bekal untuk merealisasikan kurang. Akhirnya, banyak yang memaksakan. Tapi minim penghargaan. Penghargaan untuk punggawa tahun keenam. Apresiasi karena sudah berjalan mandiri. Begitupula ditahun kelima. Yang nekadnya sama dengan tahun sebelumnya.Maka tahun keenam adalah akhirnya.
Ketika banyak yang mendiskusikan kampus yang lagi hangat-hangatnya. Ada di sisi timur Jakarta, tempat terpencil dekat pemakaman umum, yang bisa dikata menghilang ditelan asap jalanan. Seperti tenggelamnya matahari, lalu malam berjalan lamban.
Sampai-sampai banyak yang menanyakan kapan matahari terbit lagi, kemana perginya, adakah bias sinarnya yang kembali menghangatkan. Semua itu hanya pertanyaan semu yang terulang. Sedikit diantara hijau dan biru yang menanyakan, apa yang harus dilakukan?
Apakah kau bisa membetulkan benang yang lagi kusut, yang kena tarik, lalu basah bau minyak tanah. Atau apakah kau bisa menatap tajam matahari tanpa sekat antara mata dan panasnya? Usaha yang kau lakukan akan sia-sia. Paling aku hanya bisa membantu menyulutkan api untuk membantu mu membakar benang itu jadi abu. Memakaikan mu kacamata agar tak begitu parah matamu menerima silaunya. Atau aku hanya bisa bantu memberi benang baru untuk menggantikan benang lama yang kusut, yang kena tarik, lalu basah bau minyak tanah.
Sulit jika dibayangkan, yang itu saja sudah banyak menghabiskan waktu berharga tiap menitnya. Kita hanya membayangkan betapa parahnya hikayat mereka. Padahal sebelum datangnya manusia-manusia yang beretorika, mereka memang, masih, menjadi bangsa yang besar mimpi. Mimpi indah atau mimpi basah, yang penting tidak ada ubahnya. Kita menjadi penonton yang hadir ditengah-tengah lapangan, menghadang gelandang serang dengan pengalaman.
Pernah kala senja, intuisi berbicara, bahwa segala sesuatu adalah kemungkinan. Bisa terjadi, bisa juga tidak. Pada beberapa pilihan yang dibenturkan dalam pikiran alam bawah sadar. Kita harus menjawabnya, bahwa segala jawaban adalah perasaan. Yang dipendam-padamkan dengan sedikit kiasan di bibir, kemudian mata berpaling, hati tertinggal lalu mengikuti.
Itulah kita. Yang manusia. Yang penting bisa bicara. Berbahasa dengan banyak gaya. Berbahasa seperti layaknya dewa didunia. Tapi tanpa mau mengerti berbahasa seperti apa. Berbahasa dengan semestinya. Dengan tangan yang menggenggam memberi harap. Mengucap kata seperti berbuat. Kemudian berbuat dengan berbahasa.
Bahasa mu, matangkan kerinduan.
Bersemayam inang yang hilang diperaduan.
Mencari apa pencarian sejati.
Sebab, hati bukan kapas yang ditiupkan lalu pergi.
Ia seperti angin yang membawanya kembali.
Besok kita takkan pernah tahu kejadian. Tapi kita bisa buat kejadian tidak datang besok hari. Besok bisa berarti kapan saja, tapi besok bisa berarti bukan kemarin dan hari ini. Arti penyesalan bisa kita tunda dengan rencana. Rencana matang datang pada saat-saat matang. Saat-saat dimana perasaan kita menginginkan dan logika memastikan.
Itu memang berat. Menyisikan sedikit kenangan dari peluh romansa tempo dulu. Yang mana sekawanan mahasiswa datang bersama, beragam, dan berkarya. Mengajarkan mereka arti matematika. Bahwa satu ditambah satu sama dengan dua. Bahwa aku bersama kamu sama dengan kita.
Aku mencintainya, sisa-sisa makna yang diajarkan dan diamalkan. Oleh kalian, yang menjadi rela dan (ka)wan untuk beranjak menyulutkan api lentera pada pasukan anak sore di suraunya. Yang dibuat dengan cinta dan keringat ayah-ibunya. Yang saat ini masih merindukannya, kepada sekawanan anak muda dari ragam kelas terhormat yang memulai melangkahkan kaki, melewati semuanya. Berbahasa pada alam sore, yang mana mereka sadar pentingnya berbagi. Dan mana yang harus dihilangkan sebagai upaya besar-besaran balon-balonan. Seperti payung, bukan balon yang dibesarkan bentuk lalu terbang. Tapi payung, wadah peneduh saat turun hujan.
Itulah kita. Yang manusia. Yang belum tahu, tapi mau ini-itu. Melebih-lebihi ke-ingin-pengen-an mereka, masyarakat pra-sejahtera, dengan bangunan rumah sarat aksara. Ornamen yang dibuat berasal dari peluh dan keringat. Budaya mereka adalah buah pemikiran dan kebiasaan yang disepakati bersama. Bahwa tak ada hari esok tanpa selembar dana.
Sekali lagi, benar adanya dan dibenarkan pula sebabnya. Yaitu ketika malam, mereka bertanya, masih adakah matahari terbit di ufuk timur Jakarta? Datang menghangatkan, menghampiri sore, kemudian membenamkan rindu sampai gulita. Bernyanyi lagu-lagu penuh tawa, berdansa dan berkaca, sama seperti mata yang berkaca-kaca melukiskan catatan harian penuh cinta; senyap dan sunyi, sembari menikmati secangkir teh hangat yang tersisa di dalam teko sore tadi..
Komentar
Posting Komentar