Musikalisasi, Pertemuan dan Puisi
Mulai diperkenalkan musikalisasi puisinya Ari Reda itu ketika kawannya Ahasa, anak Sastra Jawa, yang lagi pulang kepelukan rumah lamanya di bilangan karang tengah, menghampirinya.
Pertama mendengarkan lagu-lagunya ia langsung jatuh cinta. Disaat pulang dan pergi, ditemani motor lawasnya, yang kala itu beri nama oleh pemiliknya B-K 'Bintang Ksatria', sambil menikmati angin sawah dan jalanan yang ramah.
Ketika sedang menggambar di bale milik kawan ayahnya, kopi susu yang setia menemaninya, dan setia menjemput senja dipelupuk mata kerbau rawa, yang hadirnya memberikan kedamaian, bersama syair-syair puisi Sapardji yang dilahirkan dalam bentuk musikalisasi. Ia senang bukan kepayang.
Ahasa tidak begitu tahu wajah mereka. Mencuri-curi kesempatan untuk melihat di beranda dunia maya, video diputarnya dan telinga siaga mendengarkan, raut wajah heran penuh kagum. Dilihatnya ada dua sejoli tidak lagi muda, yang perempuan bernyanyi bersama jiwanya, dan yang laki-laki memetik gitar mengikuti hatinya.
Sampai dipenghujung bulan. Ahasa terlambat. Semuanya dirasa begitu cepat. Ada angkot-angkot yang menjemput ibu dan anak untuk berpergian, melesat melewati jalan-jalan penghubung gang, belok kanan jurang, belok kiri demikian. Sesaat kemudian ada tukang ojek pengkolan pula yang bergegas beranjak dari zona nyaman, yang hanya pesan mereka datang. Dan ada di dua menit yang lalu, yang tak ingin ketinggalan, mahasiswa semester tua dengan belek yang berbinar-binar. Menanti untuk bertemu kesukaannya. Dua sejoli yang masih setia menyanyikan syair-syair puisi, membuatnya seakan-akan bernafas dan berdiri. Berdansa bersamanya, bercinta dan bertengkar, kemudian bersadar di pundak puisi.
Ahasa menyukainya. Tepat di hari itu, dipusat kota. Taman Menteng dan malam Minggu. Ahasa berjalan melewati gerai-gerai foto dari mahakarya tukang foto apik. Kemudian dilangkahkan kakinya menuju kerumunan siluet orang-orang yang terpaku pada panggung utama.
Dekat dengan kerumunan itu, di kiri dan kanannya, ia mengira-ngira, karena takut jika malam membohonginya, dan tak salah ia mengira bahwa benar ada yang dikaguminya. Mereka ada yang berdiri dan duduk , berbincang-bincang dengan orang-orang yang seperti mereka dan seperti tidak mengetahui bahwa ada ditengah-tengahnya berdiri Ahasa yang terpaku agak lama, bisa disamakan seperti orang-orangan sawah, yang ternyata sulit mengondisikan muka lawasnya dengan sikap kampungannya, saat bertemu Ari Reda di sampingnya.
Maka tumbuh lah senyum dan gaya dalam satu jepretan yang menyilaukan mata. Ahasa diapit dua orang tua yang mendedikasikan hidupnya untuk sastra Indonesia dan ia berterima kasih kepada mereka yang juga tak sungkan bergaya, bersama gigi putihnya yang sulit disembunyikan bibir kepada senyuman indah..
#AriReda
#MusikalisasiPuisi
#ApresiasiPuisi
#KaryaSastra
#SastraIndonesia
Komentar
Posting Komentar