Senyuman Si Kakek Penjual Koran


Namanya Pak Sugiono. Penjual koran keliling di sekitaran Kampus UNJ bagian belakang. Lahir pada tahun sebelum Indonesia merdeka. Tepatnya 3 tahun sebelum Bung Karno memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Tahun ini usianya genap 76 tahun. Sepertinya si kakek baru ultah di bulan Januari ini. Barakallah fii umrik ya kek :)

Sebenernya saya sering melihatnya di sekitaran Fakultas Teknik menjelang sore. Ketika saya lagi ngopi sore di Babeh Teknik, saya sering melihat Pak Sugiono duduk di bawah pepohonan rindang, istirahat sejenak sembari menghitung hasil yang di dapatnya hari itu dari menjual koran. Kemudian tadi sore saya menyempatkan diri untuk berbincang-bincang dengan beliau..

°°°
(16. 37 WIB, Depan Fakultas Ilmu Sosial UNJ)

Pada usia yang saya bilang sangat 'berpengalaman', kakek ini tidak ada henti-hentinya berjualan koran. Berangkat dari jam set7 pagi dan pulang seringnya jam 7 malam. Dengan rutinitasnya dari tahun 1997 ia berjualan koran, sudah mencukupi kehidupan Pak Sugiono dan istri tercintanya yang usianya kurang lebih terpaut 10 tahun.

Untuk penghasilannya menjual koran, kalau saya tidak salah dengar, seratus ribu setiap hari. Dan itu bersih. Alhamdulillah Ya Allah. Masih ada kemurahan rezeki yang di dapatinya dari menjual koran-koran di kampus.

Di rumahnya, ia hanya tinggal dengan istri tercintanya. Anak dan cucu-cucunya sudah pisah dengan beliau. Sudah memiliki rumah masing-masing. Pak Sugiono menghabiskan masa tua bersama istrinya di rumah kecilnya di bilangan Klender Jakarta Timur.

Ada kebahagiaan yang terpancar saat melihat beliau, dan itu terlukis dari sirat senyumannya yang tulus. Tanpa beban. Seperti halnya melihat anak bayi tersenyum. Tanpa beban. Ikhlas. Lalu seketika jantung saya berdegub kencang, kemudian hati ini tersentuh. Terenyuh.

Mendengar cerita-ceritanya yang hampir 10 menitan di depan FIS tadi sore. Beliau tengah duduk menata koran-korannya yang terlihat tidak terlalu banyak. Mengencangkan ikatan pada sisi tiap koran agar tidak terjatuh saat dibopong, karena yang saya amati tangannya sudah sangat renta menopang beratnya tumpukan koran yang dibawanya berkeliling kampus. Tangan yang mulia.

Ada persekian detik beliau sedikit telat membalas sapaan saya, pertanyaan saya, obrolan saya. Saya menyadari kalau memang beliau sudah tua. Tapi pendengarannya masih berfungsi dengan semestinya. Ketika mendengarkan, beliau diam. Saatnya berbicara, beliau berujar. Dengan kalimat jawaban yang relevan dengan pertanyaan saya. Pendengaran yang mulia. Berbicara yang mulia.

Terlebih lagi saat beliau meminta izin kepada saya meninggalkan obrolan kami yang hampir 10 menitan lalu, karena beliau mesti mengitari kampus UNJ bagian belakang lagi.

Langit sore masih mentereng. Baginya, waktu adalah kesempatan. Beliau gunakan dengan hal yang baik seperti berdagang. Dan kesempatan tidak datang dua kali. Saya pun mempersilahkannya dengan membalas senyum santun tanda perpisahan yang beliau lontarkan. Tapi masih kalah bersahajanya dengan beliau.

Saya bersyukur berterima kasih lagi-lagi kepada semesta, kepada langit, karena masih diberikan kesempatan untuk bisa bertemu dengan beliau, berbincang dan mengerti maksud dari senyumannya yang tulus. Bersahaja. Itulah manusia mulia. 

Dengan umurnya yang sudah sangat renta, beliau masih kuat mencari nafkah untuk keluarga. Teruntuk istrinya yang amat dicintainya. Tanpa beban, tanpa keluhan, dan selalu bersyukur kepada Tuhan.


"Hmmm, ternyata memang benar, cinta itu tanpa pengorbanan." pikirku dalam hati hati, sambil menatap langit senja dan tersenyum kembali kepada semesta.

Komentar

Postingan Populer