Kembali Kemuning (bagian 2)
Hari itu Kemuning bebas. Terbang melapangkan dada dan mencoba menerima. Ia menjadi angin yang menyisir helai demi helai, menggoyangkan ilalang, menerbangkan dedauanan yang gugur. Menyejukkan pandangan.
Kini ialah embun segar, yang dirindukan para tentara semut untuk bekal perjalanan panjang mencari hunian baru. Kini tempat yang didudukinya itu berubah menjadi singgahsana para bidadari khayangan. Ia menjelma menjadi sosok wanita berparas menawan, yang sampai-sampai membuat burung-burung camar menggodanya, merayu dan mengajaknya berbulan madu. Indah tak terbayangkan.
Pada hari itu pula ia berteriak. Lepas, keras. Sampai-sampai dapat menggerakkan gumpalan awan pekat membentang di atas kepalanya. Kini tak ada pembatasan antara ia dan langit. Kini teriakannya menghadirkan mentari, yang di mana pada saat sebelumnya desa itu sedang diguyur hujan. Bukan karena kotanya dijuluki Kota Hujan, melainkan karena beberapa jam sebelumnya ia sedang dirundung elegi berkepanjangan. Kesakitan yang ia rasakan, pedih tak terbantahkan.
Namun lagi-lagi pelangi menghadirkan senyuman, tersirat dari bibirnya yang ranum. Membawa sejuta kesempatan yang begitu mahal harganya untuk tiap lembar cerita melankholisnya. Kepunyaannya. Anugerah terindah dari Sang Esa.
Sedikit demi sedikit ia mulai menyisikannya. Butir kekesalan kepada wanita yang melahirkannya. Membawanya pada satu kesempatan hidup. Seorang wanita yang selalu terlihat baik-baik saja. Namun dibalik itu semua ada sakit yang terasa. Yang bermuara dari keluh kesah anak-anak tersayang.
Bagi seorang Ibu, sakit bukanlah sebagai penyakit. Tapi sakit bagi dirinya adalah anugerah terindah yang 'tak pernah terbantah. Karena Tuhan tahu, siapa yang sedang jatuh cinta. Di saat itu pula, Tuhan memberikan cobaan berupa kesabaran. Buah usaha yang didapatnya ialah do'a dari anak sholeh dan sholehah kepada kedua orang tua. Yang mana berdoa dengan cinta demi kesehatan Ayah-Ibu mereka.
Namun, kali ini semesta berpihak sebaliknya. Perlahan kini semesta mulai memahami Kemuning. Kini ia menkoreksi sebuah alasan dari berjuta-juta kemungkinan yang terjadi, yang memperkuat pernyataan bahwa Kemuning-lah yang benar. Bahwa Kemuning mempunyai alasan yang semestinya bisa ia ceritakan. Walau sempat ragu, namun hatinya merayu.
Maka tiba-tiba, datanglah Kemuning kecil mengetuk pintu, melihat-lihat. Bersamaan dengannya terdengar suara pintu terbuka, perasaan yang sama yang dirasa ini 'tak asing baginya. Tanpa ada yang mempersilahkan, masuklah ia ke dalamnya.
(to be continue)
Komentar
Posting Komentar