Sejenak Tumbuh dan Mengemuning
(Sebuah tulisan yang mewakilkan rasa rindu si penulis kepada suatu tempat, juga kepada para mahasiswa yang tergabung didalamnya, menjadi bagian yang tak terpisahkan. Sebuah wujud salam hangat darinya menyambut kehadiran keluarga baru.)
°°°
Teringat kembali pada beberapa tahun silam. Dalam jejak-jejak itu, diantaranya ada lamunan sekumpulan orang, ilalang panjang menjadi-jadi, lampu-lampu jalan perlahan mati, kaki melemah menapaki kisah. Pundaknya dicengkram beban berat, yang dipikulnya dari amanah-amanah Ibukota. Di waktu yang sama, mereka bersumpah bahwa akan ada asa pada pertemuan pertama. Tentang sebuah keluarga.
Teringat kembali pada beberapa tahun silam. Dalam jejak-jejak itu, diantaranya ada lamunan sekumpulan orang, ilalang panjang menjadi-jadi, lampu-lampu jalan perlahan mati, kaki melemah menapaki kisah. Pundaknya dicengkram beban berat, yang dipikulnya dari amanah-amanah Ibukota. Di waktu yang sama, mereka bersumpah bahwa akan ada asa pada pertemuan pertama. Tentang sebuah keluarga.
Idealisme mahasiswa dipertaruhkan dalam sebuah perjalanan panjang yang amat pilu tak berkesudahan. Lampu-lampu jalan berderet berbaris, menembus kabut-kabut tipis jalan raya. Merasakan dingin angin yang mendesir, bersiul-siul di sela pori-pori kulit yang mengkilap. Senandungkan kegetiran.
°°°
(Beberapa hari yang lalu, dalam ruangan gedung Daksinapati)
(Beberapa hari yang lalu, dalam ruangan gedung Daksinapati)
Mereka yang tergabung dalam keluarga besar mahasiswa berikrar dalam satu seruan, Hidup Mahasiswa.
Mereka berjalan beriringan, menyapa dan menyampaikan. Jika dilihat ada yang berhaluan, mereka rangkul dengan tangan kanan. Kawan yang sepemikiran dianggap hanya akan menjadi mimpi mereka semalaman. Sangat sulit memang menemukan kawan yang satu kamar. Yang ada hanya mereka yang bermuka tebal. Dempulan bedak di wajah yang sumringah sepaham, namun di hatinya kecut berkepanjangan.
Kemudian kembali mereka berjalan menyapa. Wajah warga-warga di sekitarnya. Kini mereka merekam kejadian yang tidak didapat semasa hidupnya. Ketika mereka merasa lelah; ada yang berusaha tersenyum sekuat tenaga. Ketika mereka merasa tidak berguna; ada yang masih berusaha agar bisa diterima. Sedikit diantaranya ialah orang-orang pilihan. Mereka dipilih oleh alam. Warga-warga bersila dengan hikmat mengikuti prosesi penobatan.
Mereka yang terpilih kini menjelma malam. Berbaris menunggu bis antar kota yang tak terlihat batang hidungnya. Di dalam perjalanannya itu, mereka menorehkan sepenggal kisah. Sangat baru bagi mereka yang biasa berjalan sendirian, atau bagi mereka yang memang sedang melajang. Tapi kali ini keadaan memaksa mereka untuk membangun sebuah lingkaran pertemanan. Disaat rasa manja mereka menular, mereka tidak mungkin berputar arah. Perjalanan mereka sudah dirasa begitu jauh meninggalkan rumah.
Sampailah mereka di hulu penantian. Pangkalan ojeg yang menggoda, yang nantinya dapat memanjakan kaki mereka saat melangkah bersama. Di penglihatannya, tidak ada yang dijajakan. Berbeda dengan di kota, mereka ingin apa tinggal pesan. Begitu pula dengan rekan jalan di sana, mereka akan ditemani saluran pipa air dan kerikil. Yang terdengar oleh mereka hanya musikalisasi puisi dari jangkrik-jangkrik yang menderik, atau keluh kesah hati kecil yang bisa membahayakan niat.
Di jalan itu mereka akan melihat sisi sebelah mata, yang bermacam-macam bentuk dan warna. nano-nano rasanya jika sampai terkena. Mereka mesti mensyukuri pemberian dari Yang Maha Kuasa. Begitu pula dengan senter yang menemaninya berjalan, tidak akan bertahan lama. Hanya sorot sinar rembulan membias di sela-sela ilalang yang meninggi, rembuk dedauan berdesakan dengan ranting yang berduri, ditembusnya kembali mengenai tanah-tanah berhumus, dan bebatuan yang terselimuti lumut. Sungguh, malam mereka sangat menyedihkan.
Tidak ada penerangan selain cahaya rembulan. Juga tidak terlewatkan bahwa ada arus aliran sungai yang membentang, membentuk sebuah garis singgung melintang. Memotong jalan. Mereka kebingungan. Niat mereka semakin lama semakin memudar. Ada diantara mereka bertanya-tanya, "kapan sampai?". Tapi diantaranya tidak ada yang tahu, sampai semesta pun tidak memberitahu.
Namun kabar baiknya, semesta memberikan tanda. Semesta tahu mana yang bersungguh-sungguh. Semesta tidak salah dalam memilih. Ada cara yang terindah yang diberikan semesta kepada mereka, sekelompok mahasiswa dengan idealis tipis namun kental dengan semangat dan kritis.
Kali ini yang semesta berikan tidak berupa kemudahan dalam perjalanan. Hanya saja semesta menyematkan ruh berupa rasa yang disebut cinta. Semesta menaruhnya pada suatu tumpuan. Titik di mana sebuah kisah paling romantis bermula. Di mana banyak orang-orang yang merindukannya. Senyum sahaja yang terlukis, sirat rahasia penuh makna akan sebuah tempat melegenda. Sebutir kasih; sebuah keluarga; secangkir kopi; seperti Kemuning.
Komentar
Posting Komentar