Malam Itu, Malamnya Fathan.
"Ayo dek, kamu duluan yang lihat." Ujar salah seorang pegiat teropong Planetarium kepada Fathan.
Sedari tadi ia gelisah kepada Ayah Bundanya. Ia sudah tidak sabar ingin melihat benda langit itu lebih dekat.
Fathan pun menghampiri teropong klasik yang lentik. Jemarinya bergerilya, mengendap-endap, berharap supaya tidak bergerak saat tersentuh tangan kecilnya.
Sepasang mata lugunya didekatkan ke ujung teropong. Mata yang kirinya ia redupkan, yang kanan dipatenkan. Fathan bergaya layaknya ilmuan.
Disaat bersamaan, ia kaget. Kedua tangannya mencengkram kuat apa yang ia pegang. Fathan bergeming merinding, merasa bahwa mimpi malamnya kemarin, yang bertemu Ratu Rembulan, kini benar-benar ia rasakan.
Lalu keajaiban pun tiba,
"Wah, ada bulannya! Ayah, Bunda, Fathan lihat bulan!" Girangnya.
Nyata di pelupuk mata sebelah kanannya. Yang kiri seraya iri dan ingin melihat juga. Fathan memastikan itu dengan mata sebelah kirinya. Dan ternyata benar kalau ia tidak sedang bermimpi. Kini kedua bola matanya memeluk bulan amat dalam, dan Sang Rembulan pun menyempatkan supaya tak ada kata terbenam untuk Si Astronom Cilik, Fathan.
Nb: (di'jepret' langsung dari kamera hape yang udeh ga sabar pengen 'nyosor' ujung mulut teropong yang ompong)
Komentar
Posting Komentar