Tolol Tapi Pengen
Lama aku tidak menyentuh ini, sepasang benda yang nampak hidup bila digunakan. Pena dan cinta. Kali ini aku bersamanya akan mencoba menaiki kuda dengan kendaliku. Dengan begitu, akan kujelajahi ruang dan waktu tanpa sesal yang merindu.
Latar ini mengingatkanku
pada tempat dimana aku, dulu, 6 tahun yang silam menginjakkan kaki di panggung
Teater. Pertama kalinya aku tahu bahwa kehidupan yang dipentaskan adalah Teater.
Pertama kalinya aku diperkenalkan dengan banyak orang yang sangat ramai
pengetahuan. Hal-hal yang baru aku tahu seperti seni peran, gerak, musik,
artistik, lampu, busana, dan lainnya. Maka tidak heran teater
dikatakan sebagai Mother of Arts.
Ada beberapa hal yang sering aku alami menjadi tahu bagaimana melakukannya, seperti: bagaimana membuat properti
bangunan menyerupai aslinya; menata cahaya agar tergambar suasananya; bagaimana
menjadi orang lain yang padahal aku belum pernah melampaui umurnya. Hal-hal yang
tidak mungkin terjadi akan bisa terwujud di teater. Ya, teater lama ku, Topeng.
Berlanjut pada roda waktu
yang mengikis ingatan menjadi buih kenangan. Kali ini aku disuguhkan pada
romansa tempo dulu. Seperti sedang membaca buku yang didalamnya aku sebagai
salah seorang pemerannya. Kejadian itu menjadi tamparan panas yang membekas. Dimana
pada saat itu aku menghilangkan keberadaanku. Tapi tidak untuk hari itu. Maka aku
berpikiran untuk merekamnya supaya tidak hilang terurai dipersimpangan jurang
ingatan. Dan maka dari itu, tulisan ini kulantunkan.
. . .
“Topeng Itu, Tolol tapi Pengen”
Disaat anak-anak remaja sedang mencari jati-diri masa mudanya dengan bergaul di berbagai tongkrongan, kala itu cimeng (nama samaran) dkk yang tergabung dalam Teater Topeng sedang mencari beberapa toko material di penjuru sudut jalanan Brigir melipir ke Ciganjur. Demi untuk mencari potongan kaso dan sekawanannya yang harganya cukup bersahaja dengan kantong Pak Asisten Sutradara (Astrada) yang kala itu menjabat sebagai mahasiswa semester awal di Universitas Ndak Jelas di bilangan Jakarta Timur, karena Bu Sutradaranya lagi kuliah di luar negeri, Indonesian Banking School. Keren kan nama kampusnya. Lalu kaso dkk itu nantinya akan dijadikan, lebih tepatnya disulap, menjadi bangunan bertemakan rumah adat betawi masa kini. Bertajuk nuansa betawi pinggir kota dengan celotehannya dan permasalahan yang ngangenin ati.
Menceritakan kisah
sepasang muda-mudi dari anak Juragan kontrakan dan Janda muda. Benih cinta
juragan berstatus duda dengan seorang janda muda primadona di kampungnya, juga
anak mereka yang ternyata saling mencinta menjadi hakikat kisah klasik mereka. Ceritanya pun dibalut dengan wajah anak-anak
pinggir Kota yang berasal dari beragam etnis-agama. Semua bercampur aduk
layaknya gado-gado yang nikmat disantap. Namun, seiring berjalannya waktu
banyak diantara mereka menemui perselisihan. Ya namanya juga Jakarta, pasti ada asem manisnya. Nah, berangkat
dari situ maka judul pementasan perdana kita adalah, Tape Uli.
"Ini
sebuah cerite tentang dua manusie nyang berantem ga ade abis-abisnye. Nyang
satu galak banget, nyang satu nyolot banget, kalo disatuin??!! (waduuuhh!!!!)
Tape Uli
punye dua rase, asem manis itu rasanye. Walau kite semua gak same, tapi kite
semua ini satu keluarge. Walau kite semua gak same, tapi kite semua ini,
keluargeee.."
Cukup aku kehabisan tenaga
saat latihan paskibra di siang bolong, cukup membuat sekujur tubuh ini
menghitam dengan elegan. Dan cukup membuatku keteteran mengatur pola makan.
Ditambah lagi, saat latihan teater di gang dekat sekolahku. Disaat aku
kehabisan tenaga, badanku kurus menghitam, disaat itu pula staminaku bangkit.
Kok bisa? Tentu karena salah satu yang membedakan teaterku dengan teater yang
lain adalah semangatnya, kami menyebutnya SemangArt!
Pertama aku latihan,
pertama juga aku dan kawan-kawan diberikan semangat dan motivasi yang
sampai-sampai kami kekenyangan menyantapnya. Kami diberikan pemahaman dasar
bahwa tidak ada yang tidak mungkin didunia ini. Segala macam ke-tidak-mungkinan
akan bisa dilakukan dengan semangat. Percaya diri kami over load dikala itu. Optimis, dan segala hal positif masuk ke
dalam diri kami dan menjadikan raga-jiwa ini sehat kembali. Setiap latihan kami
tidak akan pernah lupa untuk bersyukur kepada Tuhan. Dengan kami berdoa dan
mencintai segala kepunyaanNya. Apa yang tidak bisa kami lihat, seperti: angin; energy;
dan aura bisa kami rasakan dan mengalir deras dalam darah kami.
Terlebih lagi, di teater
kami diajarkan menghargai hidup. Menghargai segala hal kemudian mengapresiasikannya
lewat pertunjukan. Walaupun jika dilihat secara teknis, pertunjukkan itu
berjalan tidak lama, paling hanya satu sampai dua jam saja. Tapi bukan itu yang
dilihat. Bagi kami yang terpenting adalah kami bisa bereskpresi. Kami menjadi
manusia yang paling merdeka saat itu. Dan bentuk kebahagiaan yang muncul kami
salurkan lewat syukur kami kepada alam, terutama Tuhan yang telah menciptakan.
Tidak hanya dipementasan perdana, namun disetiap pementasan kami diajarkan
untuk mencintai proses.
Kami diajarkan untuk mengikhlaskan,
berkata jujur, dan rajin dalam segala hal. Seperti ketika sedang latihan intensitas. Latihan intensitas itu
sendiri adalah latihan untuk bagaimana bisa fokus pada satu titik di depan
kita, dan membayangkan sebuah titik itu adalah tujuan kita yang ingin kita
capai. Namun yang menjadi tantangannya adalah perjalanan kita mencapainya,
yaitu dengan berjalan selambat-lambatnya dengan tempo yang melebihi langkah
kaki siput yang sedang berjalan sambil jongkok menuju puncak gunung Himalaya.
Pernah waktu itu ada
senior teater yang berlatih intensitas. Ia berjalan dari tempat awal ke titiknya
itu kemudian balik lagi ke tempat semula dengan menempuh waktu selama dua
jam. Melelahkan memang, namun itulah mengapa kami menjadi termotivasi untuk melakukannya. Kami harus
lebih bersabar, harus lebih meningkatkan kepekaan terhadap sekitar. Karena
tantangan selanjutnya adalah keisengan dari senior teater kami yang akhirnya
membuat kami hilang fokus dan harus balik lagi ke posisi awal. Melelahkan
memang, namun bahagianya kami menjadi lebih sabar dalam menghadapi
permasalahan, menjadi lebih fokus dan tekun meraih tujuan. Kami bisa merasakan
angin yang menyisir pori-pori tubuh kami, melihat bias sinar matahari menembus
permukaan tanah, dan kami bisa merasakan alam mendukung kami menggapai mimpi.
Banyak hal yang diajarkan
dikala itu dan berguna bagi kami terutama aku pada saat ini. Padahal waktu itu,
salah satu seniorku pernah bilang kalau manfaat latihan teater dan berkesenian
bukan dalam jangka pendek, tapi dalam jangka panjang. Diumur 40 tahun-an keatas
kita baru merasakannya. Sama halnya seperti sedang menanam pohon. Mungkin di
fase pertama kita belum bisa merasakan manfaatnya. Namun ketika pohon itu
tumbuh dan berkembang, yang kita lakukan adalah mempertahankan agar sang bunga
yang sedang berkembang tidak sampai jatuh ke tanah. Kemudian pada saatnya tiba, bunga kan berganti dengan buah yang menggantikannya. Barulah saat itu kita bisa memetik
hasil dari apa yang sudah kita tanam. Dengan waktu yang cukup lama, dan
pastinya melelahkan ketika kita hanya menunggu saja.
Behind The Scene:
Afif (Kak Rangga) & Hanna ( Mpok Lela)
Dika (Bang Ijal) & Zahra (Wanda)
Kak Ratu (Enyak Si Jande Mude) & Kak Nanda (Babeh Si Juragan Kontrakan)
di sisi ujung, Felix (salah satu anak-anak sore di tempat latihan kami)
btw, "kaco amat lu beh! yang sabar nyak. kuat kok!"
Ekspresi Bu Sut, Pak Stage Manager, dan Mba Penata Makeup/Penata Gerak (Kak Ucup, Kak Mayang, Kak Ayu)
"ono yang pojok, ivan kah?"
Kak Magda (Sahabatnya Mpok Lela) & Anak Gembel Kota: Alvyn (merah), Ivan (topi), Kak Monic (Lengan Panjang), Kak Enge (Kuncir Dua), Dito (Kacamata)
Pemain Musik Topeng, Lengkap (mang segitu)
ada Nino (Megang Gendang, *tahun depan dia jadi pemain bareng kita), Kak Ready (Violin) dan mantemannya yg tergabung dlm musisi jalanan daerah mabes (Gitar & Drum Electronik)
Bonusan:
Kemudian pada satu tahun mendatang, topeng ada kepengenan buat bikin hajat. Pentas Tunggal!! dan ini bermula dari....
(nanti dilanjutin lagi ya)
Komentar
Posting Komentar