Apa yang Dibutuhkan Kampus Kita?
Apa yang Dibutuhkan Kampus Kita?
Oleh: Alvyn N Mahmaris
Tulisan yang berangkat dari kesadaran dan keresahan penulis mengenai kondisi kampus UNJ saat ini dan juga menanggapi beberapa tulisan dari kawan-kawan mahasiswa yang menyuarakan sejumlah aspirasi demi mewakilkan kegelisahan sekaligus kekecewaan yang dirasakan oleh civitas akademika UNJ.
Melihat kenyataan kampus dengan banyaknya permasalahan yang ada membuat hati ribuan mahasiswa tergerak untuk melakukan tindakan nyata yang representatif, dibalut dalam nuansa kultural yang menjunjung tinggi kebebasan berpendapat di muka umum. Berasal dari latar belakang dan idealisme yabg berbeda yang kemudian bersama-sama menenggelamkan ego pribadi ataupun golongannya hanya untuk mengangkat dan membela kembali hak-hak masyarakat kampus dengan sebuah gerakan integritas pembaharuan yang disebut Forum Militan Independen.
Apresiasi penulis tertuju kepada mahasiswa yang memiliki ide brilian untuk membuat gerakan pembaharuan dari gerakan-gerakan mahasiswa yang sudah-sudah. Sebagai bentuk refleksi gerakan dari waktu ke waktu. Selain itu penulis juga mengapresiasikan gerakan ini sebagai bangkitnya literasi mahasiswa dalam melestarikan budayanya (baca, tulis, diskusi) yang semakin terkikis seiring berjalannya era.
Dengan adanya suntikan hangat oleh tulisan dari Bapak Ubedilah Badrun lalu, dan beberapa tulisan lain yang tak bisa disebutkan nama penulisnya satu persatu dapat membangkitkan kembali budaya literasi kampus yang sempat tertidur pulas. Kemudian kita lihat semakin banyaknya wadah diskusi, mulai dari lingkup kecil ke lingkup besar, ringan ke yang berat. Antusias mahasiswa pun mengalami perkembangan, dari yang ikut-ikutan teman menjadi inisiatif pribadi untuk ikut kajian.
Lalu, apa yang sebenarnya sedang digelisahkan?
Kita sama-sama tahu, bahwa kampus sudah tidak sehat. Terlihat dari banyaknya keresahan yang dirasakan masyarakatnya (saya katakan masyarakat karena banyak komponen di kampus yang ikut merasakan) . Sebagai mahasiswa, penulis juga merasakan hal yang sama. Terlebih lagi mengenai hal yang bersifat sensitif seperti hak dan kewajiban.
Yang sangat disedihkan lagi bahwa kenyataannya, kampus ini sudah melupakan esensi dari Tri Dharma Perguruan Tinggi. Bagaimana kita mengamalkan poin ketiga, pengabdian masyarakat, jika Kuliah Kerja Nyata (KKN) saja menjadi hal opsional. Bagaimana mengaplikasikan poin kedua, penelitian, jika sarana prasarana kampus pun tak ikut diprioritaskan, akses mahasiswa mencari sumber-sumber pengetahuan dari buku, jurnal, dsb terbilang sedikit.
Contohnya: di jurusan saya, Manajemen Pendidikan S1 itu sedang mengumpulkan beberapa jurnal penilitian yang kemudian dibuat repository online untuk memudahkan mahasiswa mencari bahan penulisan skripsinya. Ada juga kawan saya, mahasiswa di jurusan Pend. Luar Biasa yang rela-relaan ke Bandung untuk mencari sumber buku dan beberapa jurnal yang konsen pada penelitian mereka, kata dia memang di perpustakaan kampus UNJ sedikit sekali buku dan jurnal penelitian yang berkaitan pada fokus pendalaman di jurusannya. Lalu bagaimana kita bisa mengimplementasikan poin pertama, pendidikan, jika pada kenyataannya demokratisasi kampus telah ditebang. Bagaimana kita bisa menuangkan ide dan gagasan dari hasil buah pemikiran, kalau lagi-lagi, suara kita ketika ingin menunjukkan rasa dibungkam.
Namun, di samping itu, jika kita merenungkan kembali, kita akan mengerti bahwa kampus hanyalah benda mati yang dijadikan penumpahan tuntutan yang berkepanjangan. Kampus hanya lah tempat kita menaruh sebuah impian besar bahwa sederhananya, "Jika saya kuliah, saya semakin dekat dengan cita-cita". Kemudian kita lihat kenyataannya. Saya ambil contoh seperti UKT rasa cabai (harga tinggi) yang tidak jelas transparansinya. Bagaimana kita bisa fokus pada pencapaian cita-cita tapi setiap semesternya kita selalu dikhawatirkan pada sebuah pertanyaan menakutkan: "Apakah kita bisa kuliah lagi atau tidak?"
Pada permasalahan lain, ada juga program perkenalan kampus kepada mahasiswa baru, kita sebut Masa Pengenalan Akademik yang disingkat MPA. Perspektif penulis tertuju kepada mahasiswa baru. Mungkin ini tidak dirasa secara langsung, tapi jika program itu terjadi pada tahun ini akan berdampak bisa mengkerdilkan hasrat mahasiswa baru untuk mengasah potensi dan minat mereka dalam berenang-renang menyelami keindahan organisasi atas dan bawah laut (kampus). Yang paling dikesalkan lagi adalah, tidak mengherankan bahwa nantinya akan banyak mahasiswa yang bertanya, "Kak, katanya ada Tim Aksi Fakultas ya? oia, itu apa ya Kak?" (tiga bulan setelah MPA)
Di samping permasalahan besar itu, ada juga permasalahan-permasalahan lain yang tidak kalah besar pula, dan lagi-lagi kita harus memikirkan bagaimana dampaknya bagi generasi penerus nantinya. Memang untuk saat ini masih belum amat dirasakan, namun jika kedepannya terus dibiarkan menjadi kebiasaan, diyakini dan disepakati bersama (re: budaya), maka mati lah kampus kita sebagai kampus perjuangan.
Nah, lagi-lagi penulis berpikir apa yang salah pada kampus kita, bahwa hakikatnya kampus hanyalah benda mati; usang; sempit. Dan logika sederhananya: jika kampus UNJ hanya lah benda mati tak memiliki nyawa, itu berarti ada yang menggerakkannya, walhasil kampus kita memiliki sistem yang menghidupkan benda-benda mati didalamnya.
Sederhananya, kampus kita hidup karena manusianya. Manusianya itu ialah orang-orang yang memiliki fungsi sebagai penggerak dan pengontrol; pengingat dan pengkritik; membangun dan mempertahankan dari apa yang sudah dibangun. Dengan kata lain, mati hidupnya kampus ada di tangan kita, manusia.
Mati-hidupnya kampus tidak hanya di tangan petinggi kampus saja, seperti Rektor dan jajarannya. Namun di satu sisi, mahasiswa juga dianggap penting untuk menjadikan kampus lebih hidup dan dinamis, merumuskan sistem secara terintegritas dari berbagai komponen dengan merancang dan memformulasikan berbagai peraturan, kebijakan, serta budaya kampus. Sesederhananya saja mahasiswa diikutsertakan dalam membuat Statuta kampus.
Penulis merasakan pada saat ini, kita, civitas akademika UNJ, sedang berada pada keadaan di mana tak ada yang mau disalahkan, siapa-menyalahkan-siapa, siapa-mencari kesalahan-siapa, siapa-disalahkan-siapa, dan bahkan ada suatu hal yang benar menjadi salah. Membingungkan memang, tapi mau bagaimana lagi.
Akhirnya banyak rentetan tulisan yang mengkritik baik itu kebijakan-kebijakan kampus, program-program, bahkan individu orang. Sudah sewajarnya hal ini perlu diviralkan secara masif sebagai bentuk pemberontakan dari suatu otoritas kekuasaan dan kepedulian bersama dalam konteks masyarakat yang memanusiakan.
Namun, yang penulis takutkan adalah bagaimana jika tidak ada solusi dari ini semua. Ketika banyaknya keresahan yang dituangkan ke dalam tuntutan dengan bentuk aksi demonstran kepada pimpinan kampus sudah terselesaikan, apakah yang akan dilakukan oleh kita selanjutnya? Mengingat bahwa setiap proses perubahan membutuhkan waktu yang tidak sebentar atau sekejap jadi.
Di sisi lain, apakah tuntutan ini akan benar-benar diproses oleh pemegang kebijakan tinggi kampus dengan tujuan percepatan ke arah perubahan yang diinginkan masyarakatnya atau tidak? Seperti tindak lanjut dari aksi kampus pada tahun-tahun kemarin, misalnya. Apakah kita (mahasiswa) merasakan secara sadar dari impact aksi tersebut , sebut saja Aksi Mahasiswa Bersatu 2016 dengan Tujuh Tuntutan Mahasiswa.
Banyak yang kita keluh-kesahkan, banyak yang kita ingin lakukan, banyak yang akan kita benahi, tapi apa gunanya jika kita masih tidak bisa komitmen pada ucapan dan perbuatan. Apa gunanya kalau komitmen kita tidak diiringi dengan sikap konsistensi tinggi.
Karena penulis mengira permasalahan ini walau biar menjadi permasalahan bersama, namun ada beberapa permasalahan individual di luar kepentingan forum. Dampaknya ada beberapa di antara mahasiswa yang tadinya mengatakan secara lantang melawan kedzoliman dari otoritas kampus namun gugur di tengah jalan, lantaran ada kesibukan lain yang membuat mereka tidak bisa konsisten dalam jalan juang ini. Semoga saja tidak.
Maka dari itu, tak ada salahnya, dan tak ada buruknya kalau kita tidak membatasi diri dalam membangun kampus yang lebih baik dan benar kearah yang diharapkan. Ketika kita mengharapkan adanya suatu peradaban tinggi di kampus, namun lihatlah apakah kita sudah beradab?
Ketika kita menginginkan adanya transparansi UKT serta administrasinya diinformasikan, namun lihat lah lagi, apakah kita sudah menjalin komunikasi bersinergi dengan birokrasi kampus? se-intensif apa? Kalau memang birokrasi terlalu mentutup-tutupi, apakah usaha kita sampai di sana saja?
Ketika kita menggaungkan tentang hak mengutarakan pendapat di UNJ sebesar-besarnya, namun apakah diri ini sudah menjadi pendengar yang baik bagi kawan-kawan kita? Ketika saya mengikuti seminar tentang Manajemen Kebahagiaan Diri dari Kelompok Bimbingan Konseling Remaja disingkat KBKR, ada salah satu hal yang menarik, yaitu bahwa tingkat tersulit dalam memberikan bimbingan dan konseling itu berada pada bagaimana kita menjadi pendengar yang baik bagi orang-orang yang ingin bercerita, di samping adanya kewajiban untuk memahami apa yang mereka rasakan.
Maka dari itu, yang penulis harapkan dari aksi ini nanti adalah bergerak lah karena kesadaran diri bahwa kita juga manusia kampus yang memiliki andil besar sebagai penggerak dan pengontrol; pengingat dan pengkritik; membangun dan mempertahankan apa yang sudah diusahakan. Hilangkan lah tradisi mengkotak-kotakan tugas dan fungsi, karena jika kita menginginkan para petinggi kebijakan ini untuk membangun kampus yang kita harapkan, tak ada salahnya kita sama-sama bergerak membenahi kampus dengan cara kita. Caranya mahasiswa, cara dosen, karyawan, bahkan cara semua masyarakat kampus tanpa terkecuali.
Kemudian muncul pertanyaan, apa perannya mereka, pejabat tinggi kampus?
Sebenarnya yang kita lakukan sudah benar. Jika memang terindikasi bahwa mereka salah, kita patut Lawan. Namun di satu sisi, kita tidak mau menjadi ikut-ikutan salah juga, kan? karena lantaran kita membiarkan keadaan buruk terjadi di kampus ini.
Contoh kecilnya, ketika banyak mahasiswa merisaukan banjir UNJ yang tak teratasi, banyak mahasiswa yang berkeluh kesah akan hal itu namun sendirinya membuang sampah tidak pada tempatnya. Kemudian pada hal lain, walau secara pribadi saya merasa sangat kecewa adanya penebangan habis pohon perindang di belakang gedung Daksinapati, namun di sisi lain anak Pend. Luar Sekolah angkatan 2014 tengah membuat program farming di area taman belakang gedung, sebagai pemenuhan tugas mata kuliah dan membudayakan pelestarian penghijauan fakultasnya. Kemudian juga fakultas-fakultas lain yang konsen dalam hal pelestarian lingkungan kampus.
Dan terakhir, pesan penulis kepada para pembaca, khususnya Bapak-Ibu pejabat tinggi kampus. Dengan sangat hormat, Kami, masyarakatmu, tengah menjawab apa yang sebenarnya kampus butuhkan. Kampus membutuhkan manusia dengan bukti, bukan janji. Maka dari itu, Kami, masyarakatmu, tengah membuktikan bahwa Kami tidak hanya memberikan kritik, namun solusi konkrit. Jika memang pemimpin adalah cerminan rakyat, apakah itu benar? Jika memang benar, salahkah jika Kami membutuhkan pemimpin yang bisa memberikan bukti, bukan janji?
Seperti kalimat bijak yang berbunyi:
"memberitahukan yang terbaik adalah dengan mencontohkan"
"memberitahukan yang terbaik adalah dengan mencontohkan"
Komentar
Posting Komentar