Dikala Hujan
(Sebuah tulisan yang membahas sisi lain dari bencana banjir DKI Jakarta. Mencoba mengartikan hujan dan dampak terbesarnya dari perspektif penulis)
*-Dikala Hujan-*
Oleh : A. Hu
_"Hujan, badai. Sama saja. Sama sama menyisakan berbagai macam kejadian untuk dikenang."_
Diawal tahun yang baru, Ibukota menjadi miniatur negera yang saat ini sedang panas-panasnya. Beragam masalah sana sini menghantui dan menjadi momok menakutkan yang kerap kali dirasakan oleh segelintir orang, dari yang punya 'kepentingan' , sampai rakyat yang kudu di 'pentingkan'.
Saya tidak ingin mengambil contoh dari perhelatan akbar masa pilkada DKI saat ini, karena saya rasa percuma kalau dibahas juga toh tidak akan pernah mereda, seperti _hujan_ .
Jadi, saya lebih memilih hujan sebagai topik tulisan ini. Dibandingkan dengan topik lain yang tidak menghasilkan pelangi di akhirnya.
•••
_"Hujan hujan pergilah, datang lagi lain hari"~_
Sebenarnya kalau kita ketahui, kalimat yang didendangkan banyak anak-anak di Indonesia khususnya Jakarta tempo dulu ini mempunyai pesan tersirat. Terutama saya yang sering kali menyanyikan lagu singkat tersebut bersama teman teman kecil saya sewaktu duduk di bangku sekolah dasar, sampai _sunatan_ (akil baliqh).
Sangat berbekas sekali di memori otak saya ketika dulu kita sama-sama menyanyikan kalimat pengharapan tersebut. Kita (anak anak dulu) beharap supaya hujan cepat reda dan permainan yang tadi terjeda karena hujan bisa dimulai kembali. Atau bahkan ada yang memainkan permainan baru (hujan-hujanan) bersama keberaniannya melawan virus influenza di dirinya.
Namun diwaktu kecil dulu, ketika itu hujan malah membuat mata orangtua teman saya berair. Bukan karena air hujan yang membasahi wajah mereka, namun karena terlalu banyak air hujan yang memenuhi rumahnya. Dan pada kala itu, saya baru mengenal arti "banjir".
Hujan memang indah untuk dipandang. Memang sangat asik bermain-main dibawah rintiknya hujan. Bahkan dengan hujan pun kita bisa produktif, salah satunya dengan "menulis dikala hujan". Tapi kenapa hujan malah membuat orangtua teman saya menangis? Berbeda dengan teman saya yang tengah asik berenang di kolam renang dadakan yang dibuat oleh Sang hujan. Saat itu saya bingung, "kenapa ada dua perbedaan perasaan pada ikatan keluarga yang mendalam?"
Tapi ketika saya semakin besar dan beberapa dari teman saya juga sudah tidak lagi berenang di kolam renang dadakan itu, saya akhirnya mengerti maksud hujan diturunkan.
Hujan turun, membawa kebahagiaan bagi anak anak yang menkreasikan hujan sebagai objek permainan. Kemudian dibaliknya itu, hujan turun membawa kekhawatiran pada sejumlah masyarakat di daerah rawan terjadi banjir. Trauma mereka mendarah daging sampai meciptakan kemelut kenangan yang tak seharusnya terulang.
Anak anak sebenarnya tidak menginginkan nyanyian dari pengharapan mereka itu terkabul dan akhirnya permainannya bisa dilanjutkan. Bukan. Buktinya setelah mereka menyanyikan "Hujan hujan pergilah, datang lagi lain hari", mereka malah asik bermain dibawah rintiknya hujan.
Mereka merasa hujan tidak mengganggu permainan mereka. Namun, mereka (anak-anak kecil) menyanyikan lagu itu dengan pengharapan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar tangisan ayah-ibu mereka cepat reda, "datang lagi lain hari" yang dimaksud adalah semoga akan datang bias kebahagian yang tergambarkan dari wajah ayah-ibu mereka.
Pengharapan mereka akan redanya hujan bukan berangkat dari sebuah kepentingan pribadi ataupun kelompoknya. Tapi lebih hebat dari itu, seorang anak kecil yang kita tahu memiliki sisi kepolosan ternyata sangat mengerti kondisi yang dialami ayah-ibu mereka dari dera airmatanya. Makanya mereka bernyanyi riang dengan semangat tanpa menkhawatirkan kondisi badan yang sebentar lagi terkena pilek,dan demam. Bersama dengan keberanian yang dipegang, mereka yakin bahwa hujan akan reda. Hujan akan membawa sejuta kenangan kebahagiaan, bukan lagi kemelut yang berkepanjangan.
_"Karena, kemungkinan terbesarnya adalah hujan takkan pergi, teman. Tapi hujan akan menunggu mendung. Dan pelangi, akan hadir menghapus mendungnya hati."_
~~~
DKI dengan segala kebobrokannya akan tergantikan oleh kebahagiaan anak-anak yang tengah asik bermain hujan, dan berenang renang. Mereka malah takkan takut hanyut, karena kehanyutan mereka justru membawa pengakuan kalau DKI sudah tidak aman. Bukan karena hujan, tapi karena yang mempunyai kepentingan supaya tak ada lagi banjir/bandang malah bukannya sadar tapi ikut-ikutan 'main' dengan hujan.
Sengaja anak-anak membuang sampah sembarang. Bukan karena mereka tak mau diatur atau tidak paham. Justru karena mereka ingin kita sadar bahwa sudah saatnya untuk tidak membawa kepentingan pribadi di dalam kepentingan umum. Sudah saatnya banjir di DKI tak lagi membudaya. Sudah seharusnya kita peduli akan lingkungan dan masyarakatnya dan keegoisan kita mestilah mereda. Itu semua karena kecintaan kita akan masa depan generasi penerus bangsa.
Dan saat ini, saya sudah tumbuh besar. Sudah tidak sering lagi menyanyikan nyanyian pengharapan itu dikala hujan turun. Tetapi dalam lubuk hati ini, saya rindu. Saya rindu hujan, rindu teman teman kecil saya yang bermain dibawah rintik hujan, dan saya rindu mendengar doa-doa pengharapan dari hati tulus anak-anak supaya hujan berenti. Supaya banjir tidak lagi menimpa keluarga kami.
_"Hujan.....hujan... pergilah,...... datanglah pelangi pagi... "_
-A.Hu *(Dikala Hujan, 25 Februari 2017)*
*-Dikala Hujan-*
Oleh : A. Hu
_"Hujan, badai. Sama saja. Sama sama menyisakan berbagai macam kejadian untuk dikenang."_
Diawal tahun yang baru, Ibukota menjadi miniatur negera yang saat ini sedang panas-panasnya. Beragam masalah sana sini menghantui dan menjadi momok menakutkan yang kerap kali dirasakan oleh segelintir orang, dari yang punya 'kepentingan' , sampai rakyat yang kudu di 'pentingkan'.
Saya tidak ingin mengambil contoh dari perhelatan akbar masa pilkada DKI saat ini, karena saya rasa percuma kalau dibahas juga toh tidak akan pernah mereda, seperti _hujan_ .
Jadi, saya lebih memilih hujan sebagai topik tulisan ini. Dibandingkan dengan topik lain yang tidak menghasilkan pelangi di akhirnya.
•••
_"Hujan hujan pergilah, datang lagi lain hari"~_
Sebenarnya kalau kita ketahui, kalimat yang didendangkan banyak anak-anak di Indonesia khususnya Jakarta tempo dulu ini mempunyai pesan tersirat. Terutama saya yang sering kali menyanyikan lagu singkat tersebut bersama teman teman kecil saya sewaktu duduk di bangku sekolah dasar, sampai _sunatan_ (akil baliqh).
Sangat berbekas sekali di memori otak saya ketika dulu kita sama-sama menyanyikan kalimat pengharapan tersebut. Kita (anak anak dulu) beharap supaya hujan cepat reda dan permainan yang tadi terjeda karena hujan bisa dimulai kembali. Atau bahkan ada yang memainkan permainan baru (hujan-hujanan) bersama keberaniannya melawan virus influenza di dirinya.
Namun diwaktu kecil dulu, ketika itu hujan malah membuat mata orangtua teman saya berair. Bukan karena air hujan yang membasahi wajah mereka, namun karena terlalu banyak air hujan yang memenuhi rumahnya. Dan pada kala itu, saya baru mengenal arti "banjir".
Hujan memang indah untuk dipandang. Memang sangat asik bermain-main dibawah rintiknya hujan. Bahkan dengan hujan pun kita bisa produktif, salah satunya dengan "menulis dikala hujan". Tapi kenapa hujan malah membuat orangtua teman saya menangis? Berbeda dengan teman saya yang tengah asik berenang di kolam renang dadakan yang dibuat oleh Sang hujan. Saat itu saya bingung, "kenapa ada dua perbedaan perasaan pada ikatan keluarga yang mendalam?"
Tapi ketika saya semakin besar dan beberapa dari teman saya juga sudah tidak lagi berenang di kolam renang dadakan itu, saya akhirnya mengerti maksud hujan diturunkan.
Hujan turun, membawa kebahagiaan bagi anak anak yang menkreasikan hujan sebagai objek permainan. Kemudian dibaliknya itu, hujan turun membawa kekhawatiran pada sejumlah masyarakat di daerah rawan terjadi banjir. Trauma mereka mendarah daging sampai meciptakan kemelut kenangan yang tak seharusnya terulang.
Anak anak sebenarnya tidak menginginkan nyanyian dari pengharapan mereka itu terkabul dan akhirnya permainannya bisa dilanjutkan. Bukan. Buktinya setelah mereka menyanyikan "Hujan hujan pergilah, datang lagi lain hari", mereka malah asik bermain dibawah rintiknya hujan.
Mereka merasa hujan tidak mengganggu permainan mereka. Namun, mereka (anak-anak kecil) menyanyikan lagu itu dengan pengharapan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar tangisan ayah-ibu mereka cepat reda, "datang lagi lain hari" yang dimaksud adalah semoga akan datang bias kebahagian yang tergambarkan dari wajah ayah-ibu mereka.
Pengharapan mereka akan redanya hujan bukan berangkat dari sebuah kepentingan pribadi ataupun kelompoknya. Tapi lebih hebat dari itu, seorang anak kecil yang kita tahu memiliki sisi kepolosan ternyata sangat mengerti kondisi yang dialami ayah-ibu mereka dari dera airmatanya. Makanya mereka bernyanyi riang dengan semangat tanpa menkhawatirkan kondisi badan yang sebentar lagi terkena pilek,dan demam. Bersama dengan keberanian yang dipegang, mereka yakin bahwa hujan akan reda. Hujan akan membawa sejuta kenangan kebahagiaan, bukan lagi kemelut yang berkepanjangan.
_"Karena, kemungkinan terbesarnya adalah hujan takkan pergi, teman. Tapi hujan akan menunggu mendung. Dan pelangi, akan hadir menghapus mendungnya hati."_
~~~
DKI dengan segala kebobrokannya akan tergantikan oleh kebahagiaan anak-anak yang tengah asik bermain hujan, dan berenang renang. Mereka malah takkan takut hanyut, karena kehanyutan mereka justru membawa pengakuan kalau DKI sudah tidak aman. Bukan karena hujan, tapi karena yang mempunyai kepentingan supaya tak ada lagi banjir/bandang malah bukannya sadar tapi ikut-ikutan 'main' dengan hujan.
Sengaja anak-anak membuang sampah sembarang. Bukan karena mereka tak mau diatur atau tidak paham. Justru karena mereka ingin kita sadar bahwa sudah saatnya untuk tidak membawa kepentingan pribadi di dalam kepentingan umum. Sudah saatnya banjir di DKI tak lagi membudaya. Sudah seharusnya kita peduli akan lingkungan dan masyarakatnya dan keegoisan kita mestilah mereda. Itu semua karena kecintaan kita akan masa depan generasi penerus bangsa.
Dan saat ini, saya sudah tumbuh besar. Sudah tidak sering lagi menyanyikan nyanyian pengharapan itu dikala hujan turun. Tetapi dalam lubuk hati ini, saya rindu. Saya rindu hujan, rindu teman teman kecil saya yang bermain dibawah rintik hujan, dan saya rindu mendengar doa-doa pengharapan dari hati tulus anak-anak supaya hujan berenti. Supaya banjir tidak lagi menimpa keluarga kami.
_"Hujan.....hujan... pergilah,...... datanglah pelangi pagi... "_
-A.Hu *(Dikala Hujan, 25 Februari 2017)*
Komentar
Posting Komentar