"Bakti Kita Kepada Negeri"

(Alvyn Naufal Mahmaris, Relawan Comdev Teko FIP UNJ)

"Anak anak terus berlari kesana - kemari tanpa tahu masa depan mereka seperti apa"


Perumpamaan ini menjadi ungkapan saya kepada sebuah pemukiman di pinggiran Kota Jakarta, dekat dengan Kampus Pergerakan. Pemukiman yang sering dijumpai mahasiswa-mahasiswa berjiwa sosial tinggi untuk berbagi ilmu dalam bentuk pengajaran di sana. Musholla-lah yang menjadi tempat para mahasiswa memberikan sedikit ilmu kepada anak-anak hebat, anak-anak yang membawa kerinduan bagi mahasiswa untuk terus berkomitmen memberikan pendidikan dan menjanjikan masa depan mereka yang cemerlang.

Kenyataan berkata lain..
Kenyataan memihak pada sebuah keadaan dimana kegiatan kampus, jam kuliah, tambahan kelas, dan berbagai hal lain yang membuat mahasiswa yang tadinya beramai-ramai bersemangat untuk hadir memberikan kebahagian kepada masyarakat yang berada di pemukiman ini menjadi sedikit, kian sedikit dan bahkan sangat sedikit mungkin bisa dihitung dengan jari.

Tapi itu tidak menjadi masalah, karena mereka yang tidak hadir masih selalu memberikan doa untuk kemaslahatan masayarakat di pemukiman itu. Mungkin di lain waktu mahasiswa-mahasiswa ini bisa datang lagi dan di lain waktu juga bisa menghilang lagi (mungkin). Begitu seterusnya dari periode per periode.


" Lalu apa yang seharusnya dilakukan?"
Kepada hati dan pikiran dalam diam saya bertanya.


Saya adalah salah satu dari banyaknya mahasiswa yang menjanjikan hal indah kepada anak-anak di sana. Saya adalah salah satu dari sekian banyak mahasiswa yang mempunyai pemikiran bahwa yang dapat mengubah suatu peradaban bangsa ke arah yang lebih baik adalah dengan Pendidikan.

Pendidikan yang baik dan benar adalah pendidikan yang mencakup dalam segi aspek rasio-rasa, jiwa-raga yang dimana komponen-komponen itu dapat bersinergi bagai roda yang berjalan tegas, cepat dan tepat seperti yang sudah dijelaskan dalam buku "Kisah Inspirasi Pendidik Indonesia" yang diterbitkan oleh Tanoto Foundation.

Di dalamnya terdapat penjelasan mengenai 'Paradigma Holistik' oleh Ibnu Sina di kala itu, dimana keseimbangan jiwa-raga dan rasio-rasa ini menjadi suatu modal untuk berkembang. Namun seiring berjalannya waktu, paham 'Cartesian' pada era Desrcates ini lah yang sedikit demi sedikit mengubah apa yang sudah dituliskan dalam sejarah.

Mereka mulanya setuju dengan paradigma 'Holistik' Ibnu Sina , namun paham Cartesian ini melihat bahwa ada sesuatu yang tidak dapat di nilai dan di perhitungkan dengan berbagai metode/cara.
Maka dari itu, Descrates mencoba untuk mengesampingkan 'jiwa' dan lebih mengoptimalkan 'raga', dan juga lebih melihat pada 'rasio' daripada 'rasa'.

Dan prinsip pendidikan inilah yang dijadikan landasan sampai sekarang, dengan adanya Teori Bloom dengan tokohnya yang terkenal adalah Benjamin Bloom.


Kita tidak membahas siapa itu Ibnu Sina ?, Descrates ? Ataupun Benjamin Bloom? Tidak sekali lagi TIDAK!!!


Namun, pada kesempatan kali ini, dengan waktu dan ruang yang sama, tidak ada salahnya untuk kita sama-sama melihat secara menyeluruh, berpikir mendasar dan mencoba untuk berspekulasi semata mata hanya untuk pendidikan Indonesia yang lebih baik lagi. Hanya untuk melihat anak anak di keluarganya yang kurang beruntung dalam mencari peruntungan di Ibukota ini tersenyum kembali, hanya untuk melihat para lansia, disabilitas, yatim, yatim-piatu untuk mendapatkan hak yang sama sebagai manusia seutuhnya.

Hal ini tidak dapat kita pisahkan dari apa yang dinamakan Pendidikan.


(Percakapan seorang Relawan dengan anak didiknya)

A: hei, Nur..
N: Ia kak..
A: kalau Kak Mika (nama samaran) dan kakak-kakak yang lain ga dateng lagi kesini ( tempat belajar) dan ga ngajar disini lagi , gimana Nur?
N: .....
A: Nur?
N: mmm, ya jangan lah kak, disini aja ya kak... Isshh kak Mika maaaaaah (sambil memeluk Kak Mika menahan sedih yang dirasakan)
A: hehehe, kakak becanda (sambil mengusap-usap rambut Nur dan mencoba mencari arti dari percakapan singkat ini) -Cerita Senja di Teko Tercinta-



Anak-anak kecil berlarian dengan gembira, bermain dengan kejenakaannya, dan menjadi anak yang berbakti kepada orangtuanya bukan karena kita, bukan karena bahan buku bacaan yang dipelajari atau media pembelajarannya yang diberikan.

Namun, berkat Pendidikannya.
Pendidikan lah yang membuat pahit menjadi manis, yang mengubah lara menjadi bahagia, yang memutarbalikkan realita menjadi cita cita.

Semua hal ini dapat kita realisasikan dengan baik dan benar, dengan efisien dan
efektif jika kita sadar, jika kita mau, dan jika kita sanggup.

Dalam tulisan ini saya sengaja mengajak para pembaca untuk lebih eksploratif dan imajinatif dalam menghadapi suatu problema kehidupan khususnya polemik Pendidikan Negeri..

Semoga kedepannya, kita bukan lagi menjadi manusia yang buta dengan sejarah, bukan lagi menjadi orang yang apatis, dan bukan lagi menjadi orang yang sombong karena sudah merasa benar di antara yang benar.

"Semakin berisi semakin merunduk" , ingatlah filosofi padi, yang menjadi budaya kita selama ini..


Dan ada hal yang masih bergejolak dalam batin saya, pertanyaan yang mendasar di dalam relung kalbu..:
"Apakah kita se-pemikiran? Apakah kita se-penderitaan? Lalu, Siapakah kita?
Dan, siapakah aku?" ...

Pertanyaan yang mungkin tidak harus dijawab pada saat-saat ini, karena (mungkin) pertanyaan ini yang akan menjelma menjadi pribadi kita dalam bergerak dan bertindak, dan (mungkin) pertanyaan ini yang akan menyatukan kita untuk berjalan bersama-sama dalam menyongsong kehidupan yang lebih baik dan bermartabat.


Demi bakti kita kepada Negeri..

‪#‎SalamBakti‬
‪#‎SalamNegeri‬
‪#‎HidupPendidikanIndonesia‬
‪#‎ComdevTekoFIP‬
‪#‎MengabdidanMenginspirasi‬

Komentar

Postingan Populer